Hari masih subuh dan gelap di Minggu pagi ini. Terdengar sayup, suara lonceng gereja dan seketika diikuti juga oleh suara adzan subuh.
Walau agak aneh untuk dibilang, tapi pagi ini, suara lonceng seakan seirama dengan suara adzan. Suara lonceng menentukan sebuah birama dan suara adzan menjadi melodi yang mengisi baris-baris notasi.
Dan satu hal lagi yang menarik dari penemuan tak terduga ini. Kedua bebunyian ini, sebenarnya punya misi yang sama dan sederhana: mengingatkan orang atau lebih kasualnya, membangunkan orang. Segmentasinya yang berbeda.
Kaum muslim mendengar suara adzan subuh pertanda saatnya shalat. Dan dalam bulan Ramadhan seperti sekarang, adzan subuh juga menjadi penanda imsak, dimulainya puasa hingga maghrib nanti.
Lalu, suara lonceng gereja adalah pengingat sekaligus panggilan pada kaum Kristiani akan saatnya beribadah di gereja.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kedua bebunyian yang berbeda tujuan ini, tidak akan dapat memilah siapa pendengarnya. Suara yang terdengar tidak memiliki daya untuk menjadi diam atau berhenti pada orang yang tidak ingin mendengarnya.
Suara-suara itu adalah kebebasan saat mereka telah keluar dari sang pembuat suara. Dia merambat menguasai udara dan tujuannya hanyalah pendengaran tanpa peduli siapa pendengarnya.
Tapi ada jalan untuk membuat bungkam suara-suara seperti ini: menghentikan sumber alias sang pembuat suara atau merusak alat pendengaran.
Pilihan nomor dua gamang dan sulit untuk mau dilakukan, karena itu sama saja merusak diri sendiri. Tentu ada suara-suara lain yang mau di dengar? Masakan hanya soal satu atau beberapa suara yang dibenci lalu merusak sumber pendengaran?
Pilihan terbaiknya adalah nomor satu: menghentikan sumber atau sang pembuat suara. Lebih mudah dan otoritas sepenuhnya ada di tangan kita (atau tepatnya ada di tangan penguasa sumber suara).
Misalkan, kita tidak menyukai musik dangdut di televisi. Mudah! Tinggal matikan televisi, menghilangkan volume atau pindah saluran. Toh, remote ada di tangan kita!
Kita tidak menyukai teman kita berbicara? Gampang! Suruh saja dia berhenti berbicara atau kalau tidak mau, pergi saja darinya.
Namun, tidak semua hal semudah itu! Misalkan seperti kedua suara minggu pagi ini: suara lonceng gereja dan suara adzan subuh.
Manusia sebenarnya adalah mahkluk yang penuh dengan simbol. Bermacam-macam simbol: jenis kelamin, usia, status, kekayaan, partai politik, genre musik atau agama. Dan masih banyak deret simbol lainnya.
Ada simbol yang begitu fundamental, tradisional bahkan sangat mengakar dan tabu untuk mengalami perubahan. Bahkan saking radikalnya, terkadang elemen simbol jenis ini membuat orang rela berjuang hidup atau mati untuk menyatakan kebenaran simbol yang dimilikinya.
Apa hubungannya dengan suara-suara di subuh Minggu pagi ini?
Kedua suara ini, datang mewakili sumber pemilik, pembuat atau pendengar dari sebuah simbol yang paling mendasar yakni AGAMA.
Dalam banyak hal dan kesempatan, agama tidak sekedar menjadi sumber kebenaran (atau pencarian atas kebenaran) tapi malah menjadi sumber konflik yang mengatasnamakan kebenaran siapa yang paling benar. Sehingga tidak heran, di belahan tempat lain, kedua suara yang berbeda keyakinan seperti ini tidak dapat terdengar bersama-sama.
Sumber-sumber suara dibungkam oleh kediktatoran, mayoritas-isme dan legalitas sepihak. Tidak ada adzan, tidak ada lonceng gereja. Di tempat lain, mungkin subuh minggu pagi hanya diisi oleh satu suara: sang pemilik suara mayoritas. Dan pagi itu akan menjadi biasa seperti pagi-pagi lainnya. Ia tidak menarik lagi!
Tapi syukurlah! Di sini pagi ini, tidak ada suara yang dibungkam. Semuanya bergema menyapu jagad subuh seakan udara toleransi dan kebebasan masih sungguh murni dan bersih.
Coba sejenak kita renungkan. Dalam kisah awal mula dunia ini dijadikan oleh Tuhan di Kejadian pasal 1, terdapat kalimat yang berulangkali menjelaskan proses Allah menjadikan segala sesuatu. BERFIRMANLAH TUHAN. Kalimat ini menyiratkan bagaimana hanya dengan kekuatan kata-kata (suara) Allah, segala sesuatu terjadi. Betapa kuat dan fantastisnya kekuatan sebuah suara! Dia bukan saja hanya di dengar tapi dia menyatakan yang di dengar. Kata-kata dan suara Tuhan ternyata bukan hanya sekedar memiliki makna tetapi menggerakkan makna tersebut.
Tapi tahukah bahwa keistimewaan itu juga kita miliki? Tuhan menjadikan segala sesuatu dengan berfirman (berkata-kata, bersuara) tapi giliran Dia menjadikan kita, Tuhan bertindak. Dia membentuk kita dengan tangan-Nya sendiri, karena Dia menghendaki kita segambar dan serupa dengan Dia.
Ini berarti? Kekuatan berkata-kata sesungguhnya adalah manifestasi sekaligus investasi istimewa Tuhan juga bagi kita.
Kekuatan bersuara harus juga menjadi penggerak. Kekuatan mendengar haruslah menjadi tindakan nyata.
Yang terjadi, kita sibuk berdebat, berperang, upaya saling berkuasa, menjajah, hanya untuk menjadi superior dan fanatis tapi suara yang kita kenali sendiri tidak menyengat dan berdayamanfaat bagi kita.
Kita membungkam suara adzan, membakar masjid tapi kita tidak menghiraukan suara lonceng yang memanggil kita bergereja.
Kita membuat diam lonceng-lonceng gereja dengan menutup paksa dan melarang gereja beribadah tapi kita tidak menghiraukan hakekat shalat dan bahkan menciderai bulan suci dengan tindakan anarkis.
Biarkanlah suara subuh pagi ini tetap seperti ini. Di dalam gerak mereka masuk keluar pendengaran semua orang, siapa saja dia, sesungguhnya menggambarkan kebebasan. Dan pada akhirnya mengingatkan kita pada TUHAN yang berfirman lewat kita: JADILAH DAMAI MAKA DAMAI ITUPUN JADI. LALU ALLAH MELIHAT SEGALA SESUATU ITU BAIK ADANYA.
0 komentar:
Posting Komentar